About the LGBT

Jadi kemarin ada yang bertanya. Kelompok anti-LGBT berjuang agar anak mereka tidak terpengaruh menjadi LGBT, terus apa tujuan kelompok pro-LGBT membela mereka?

Saya tidak langsung menjawab, karena saya tahu, jawaban emosional tidak akan menyelesaikan apapun. Dan yah, jujur saya cukup emosi dengan pertanyaan semacam itu.

Ternyata menahan diri memberi saya dan semesta waktu untuk memberikan jawaban yang rasional dalam bentuk pernyataan sikap FUI dalam demo mereka kemarin (lihat gambar).
image
Perhatikan bagian ancaman mereka dan renungkanlah. Bila satu kelompok masyarakat bisa mengeluarkan ancaman sekeji itu kepada kelompok masyarakat lain yang minoritas tanpa sanksi hukum, apa yang menjamin suatu saat anda, anak anda atau orang yang anda cintai tidak akan diminoritaskan dan menjadi sasaran tindakan keji dari kelompok mayoritas.

Beberapa tahun belakangan ini kita lihat bagaimana proyek rekayasa konflik horizontal bergerak kencang terhadap berbagai kelompok minoritas. Jemaah Ahmadiyah yang sudah ada di republik ini sejak Indonesia merdeka – ingat WR Supratman, dia seorang Ahmadiyah – menjadi target awal dekade ini. Tahun 2011 mencatat 3 warga Ahmadi dibantai dengan keji, dan para pembantai tersebut praktis dihukum ringan.

Pola persekusi ini berulang dalam berbagai kasus dengan berbagai tingkat kekejian dan berbagai kelompok masyarakat minoritas. Sebut saja pengungsi Ahmadiyah di Transito, Mataram dan pengungsi Syiah di Sampang, Madura. Belum lagi persekusi terhadap gereja GKI Yasmin di Bogor dan Gereja HKBP Filadelfia di Bekasi, serta berbagai Masjid Ahmadiyah & Syiah yang diserang, dipaksa tutup bahkan dalam berbagai kasus dihancurkan.

Jawaban untuk pertanyaan apa yang saya  perjuangkan dengan membela kelompok LGBT harusnya jelas dengan rangkaian berbagai kejadian ini, bahwa saya percaya tidak boleh seseorang atau sekelompok masyarakat dirampas hak-haknya atas hidup, atas rasa aman, atas perlakuan yang setara karena pilihan dan keyakinan mereka. Sekali kita membiarkan sekelompok masyarakat, apapun, menjadi sasaran kekerasan dan diskriminasi karena pilihan dan keyakinan mereka, maka sesungguhnya kita membuka peluang suatu hari nanti kita, anak kita atau orang-orang yang kita sayangi menjadi sasaran tindakan serupa karena keyakinan dan pilihan-pilihan mereka.

Puisi yang ditulis Pastor Martin Niemöller saat masa pemerintahan Nazi ini mungkin bisa menggambarkan apa yang saya rasakan:

First they came for the Socialists, and I did not speak out—
Because I was not a Socialist.

Then they came for the Trade Unionists, and I did not speak out—
Because I was not a Trade Unionist.

Then they came for the Jews, and I did not speak out—
Because I was not a Jew.

Then they came for me—and there was no one left to speak for me.


About this entry